Showing posts with label Lifestyle. Show all posts
Showing posts with label Lifestyle. Show all posts

June 6, 2017

Relasi Tangan Di Atas dan Tangan Di Bawah adalah Pasti




Murid-murid SD Negeri Sungkung, Bengkayang, Kalimantan Barat tersenyum bahagia. Mereka mendapatkan sepatu dari lembaga amil zakat nasional (Lazismu). Seperti dikisahkan Suhartini pegiat filantropi di Pontianak, para siswa itu menjadi perbincangan banyak orang.
 
Pasalnya, seseorang bernama Anggit Purwoto melalui akun pribadinya di penyentara sosial (instagram) mengunggah video pendek yang menampilkan empat siswa SD tersebut berseragam lusuh. Suhartini menambahkan, keempat siswa itu memakai tas kresek kumal selayaknya tas sekolah pada umumnya.
 
Resleting celana mereka rusak, namun tetap gembira berangkat sekolah tanpa alas kaki. Dengan satu buku tulis dan satu pensil, mereka mengatakan: “Pak Jokowi minta tas,” demikian kisahnya kata Suhartini setelah melihat video durasi pendek itu. 

Read More …

November 22, 2016

Kampanye Digital Marketing Lazismu: Ikhtiar Meningkatkan Efektivitas Visual Marketing



Dalam dinamika perubahan sosial dan perubahan teknologi informasi, setiap orang, kelompok atau lembaga tidak akan bisa menghindar dari pola-pola komunikasi lintas batas yang bebas. Sebagai rangkaian sebab-akibat mau tidak mau panggung kompetisi berlangsung dengan ketat.

Untuk menghadapinya, Rhenald Kasali dalam Re-Code Your Change DNA, mengatakan selain strategi dan konsep, ilustrasi perlu diketengahkan sehingga menjadi mudah untuk dipahami. Pasalnya, ada banyak cerita dan kasus di luar sana yang dari segi pengalaman berinteraksi dan pengamatan dengan para pelaku termasuk dunia usaha (individu dan organisasi) dipengaruhi oleh genetika perilaku di mana manusia sebagai pelaku perubahan itu sendiri. 
Read More …

July 18, 2016

Filantropi Islam dan Kelas Menengah Virtual



Salah satu keunikan industri keuangan dan korporasi saat ini adalah meletakkan strategi digital sebagai ujung tombak komunikasi dalam mengembangkan model bisnis dengan piranti tekonologi berbasis transaksi online (payment gateway). Suka tidak suka, perusahaan harus beradaptasi dengan revolusi digital meski kendala infrastruktur dan biaya investasi terbilang tinggi.

Industri perbankan misalnya, layanan fisik melalui kantor cabang belakangan ini kian sepi pengunjung. Para nasabah memilih saluran digital karena hemat waktu dan efisien. Padahal untuk membuka kantor cabang, perusahaan perbankan membutuhkan investasi yang besar. Namun, kecanggihan teknologi informasi dan melesatnya akses internet telah memicu perubahan perilaku masyarakat (life style) dari yang konvensional ke arah digital.
Read More …

Mudik: Solipsisme dan Rejeki Kaum Pinggiran

Satu hal penting yang perlu didedahkan di Lebaran tahun ini adalah persoalan mudik yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi umat Islam di Indonesia. Mudik ibarat opor ayam yang selalu disiapkan menjelang Idul Fitri. Lebaran tanpa opor ayam terasa tidak lengkap. Begitu juga dengan mudik, Lebaran tanpa pulang ke kampung halaman seperti kehilangan kebahagiaan yang mengisi jiwa.

Tak dinyana, mudik tahun ini sungguh memilukan. Para pihak yang memiliki otoritas untuk bertanggung jawab terhadap kelancaran dan kenyamanan mudik dipertanyakan. Dari persoalan infrastruktur, manajemen transportasi, kelaikan sarana dan prasarana saat mudik dikeluhkan para pemudik. Pastinya, jalur darat, udara, dan laut memiliki persoalan yang berbeda, kendati substansinya sama, yaitu pulang ke kampung halaman. 

Dalam mudik, misalnya, rekayasa jalur mudik sudah tentu telah dipersiapkan sebelumnya untuk mengurangi risiko yang terjadi. Koordinasi antar pihak (stakeholders) adalah keniscayaan. Jalur mudik disiapkan dengan berbagai macam alternatif jalan untuk menuju ke kampung halaman. Namun, rekayasa itu tak berjalan sebagaimana mestinya.

Kemacetan yang panjang di saat mudik tidak dapat dihindarkan. Dari sisi waktu dan ekonomi, pemborosan mengalir tanpa disadari. Sepanjang jalan tol, misalnya, sampah menumpuk dan berserakan. Saling potong jalan antar pengendara ketika mudik menghiasi perjalanan mudik tahun ini, sungguh melelahkan. 

Bahkan mudik tahun ini telah banyak memakan korban, karena letih dan tak sanggup menghadapi lamanya perjalanan mudik. Bagi pemudik, suasana yang dialaminya suatu kekecewaan yang harus tidak harus diterima apa adanya. Tidak mampu berbuat banyak, karena mudik baginya ada pilihan. Pilihan untuk kembali menuju asal muasal dari mana jati dirinya berasal. 

Rezeki Desa
Bagi orang Jakarta dan sekitarnya, mudik adalah persoalan. Hanya saja bagi orang desa yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi, jalur mudik adalah rezeki yang tak terduga. Rasa lapar tidak memandang latar belakang seseorang, mereka yang menggunakan angkutan umum, mobil pribadi, kendaraan bermotor tidak mampu menunda rasa lapar. Meski rumah makan bergengsi tidak dapat ditemui, nasi bungkus dengan lauk khas desa menjadi pilihan yang sulit untuk dihindari. 

Jika tidak makan, pasti perut terasa lapar. Sementara puasa penuh tak mampu dilanjutkan. Minuman segar menggoda pemudik untuk melepas dahaga. Dalam kondisi lain, untuk urusan buang air kecil dan buang air besar menjadi persoalan dilematis. Panas, lapar, dan mules saat berada di jalur mudik yang minim sarana prasarana adalah menyebalkan bagi sebagian orang yang tak tahan dengan urusan jalan depan dan jalan belakang. 

Pemudik tak dapat menemukan toilet yang laik. Sepanjang jalan tol menuju Brebes, misalnya, hamparan sawah adalah pilihan untuk segera menggugurkan kewajiban ini. Tidak ada kran putar, apalagi toilet, yang ada hanya bilik bambu yang dikelilingi potongan karung bekas sebagai penutupnya. Sekali lagi, ini rezeki orang desa. Orang kota tak punya pilihan. Kendati malu, apa boleh buat, hajat harus dituntaskan di tempat seadanya. 

Belum lagi warung-warung dadakan pinggir jalan sepanjang Margasari sampai Prupuk, Tegal. Nilai ekonomi tahunan didulang orang-orang desa untuk mengantongi pundi-pundi rezeki. Rumah penduduk disulap secepat mungkin untuk menyedikan fasilitas toilet umum. Lagi-lagi orang kota tak punya pilihan. Ekonomi berbagi mengalir saat mudik. 

Bagi saya, sikap yang ditunjukkan orang-orang desa sepanjang jalur mudik adalah etika berbagi menolong orang-orang kota yang tak siap mengurangi risiko mudik ketika negara gagal melakukan perlindungan. Padahal setiap tahun, mereka mudik dan merasakan perjalanan jauh yang harus ditempuh. 

Sepertinya, pengalaman itu tak disadari, peristiwa-peristiwa pilu saat mudik selalu diulang-ulang dan dinikmati. Sejatinya pengalaman-pengalaman mudik sebagai pembelajaran serta pengetahuan perlu disimpan untuk menghadapi perjalanan mudik di tahun berikutnya. 
 
Solipsisme Mudik 
Mudik sebagai tradisi merupakan khazanah budaya yang perlu dilestarikan. Hanya saja, dalam kondisi berbeda mudik mewarnai pemikiran modern yang “dipaksakan” memiliki relevansi dengan spiritualitas. Pandangan ini mewujud sejalan dengan spiritualitas Ramadhan sebulan penuh yang ditutup dengan Idul Fitri. 

Idul Fitri menjadi satu istilah bahkan terkonsep secara teologis yang diiringi laku ritual mudik. Mudik secara bahasa kembali ke kampung asal. Tempat awal mula dilahirkan dan dibesarkan hingga hijrah ke kota mengadu nasib untuk hidup sukses. Spiritualitas mengental dalam menyambut hari raya yang berkelindan dengan kesadaran diri dan merefleksikan dari mana jati diri ini berasal. 

Namun dalam perjalanannya mudik hanya sebatas tradisi. Makna terdalam di baliknya yang sejalan dengan elan vital kembali ke fitrah baru sebatas merayakan hari raya. Meminjam istilah budayawan Cak Nun, kita baru bisa merayakan atau ber-Hari Raya. Belum mampu untuk masuk pada wilayah ber-Idul Fitri. Karena itu, baru sebatas merayakan, maka yang ada hanya nafsu dan kenikmatan. 

Secara psikologis kondisi itu berada dalam suatu pandangan yang merujuk diri sendiri. Tidak ada yang lebih penting ketimbang kenikmatan diri sendiri yang diperoleh secara indrawi. Dengan kata lain, kondisi psikologis ini disebut dengan solipsisme. Suatu paham yang menggambarkan kesadaran diri yang terpisah dari realitas serta pengalaman. 

Selain itu, alih-alih ingin mendapat berkah teologis, yang terjadi justru menenggelamkan jiwa transendental yang selalu berinteraksi dengan Tuhan sebagai Maha Pemberi Bentuk. Alhasil, terperangkap dalam dunianya sendiri, terasing, karena hanya mendahului kepentingan sendiri. Perangkap solipsisme telah memisahkan kesadaran diri dengan realitas dan pengalaman. 

Adalah kontradiksi jika kesadaran dan pengalaman mudik di tahun-tahun yang lalu dan memilukan terulang kembali dengan cerita pilu yang sama. Sejatinya kesadaran diri itu mampu menyaring pengalaman-pengalaman mudik yang tak nyaman menjadi pengalaman mudik yang manusiawi. Konstruksi mental kita telanjur tertanam cogito Cartesian, Aku Mudik Maka Aku Ada

Seraya memindai akal budi namun menerima pengalaman empiris tanpa menyandingkan dan menolak suatu kemungkinan pengetahuan berkenaan dengan mudik yang lebih aman dan nyaman. Nafsu untuk pulang kampung terwujud dengan semrawut yang mengandalkan fenomena mudik sebagai gaya hidup ketimbang tradisi dan budaya tinggi yang luhur.

Dengan demikian, saatnya kita berkaca, apakah pengalaman mudik yang memilukan ini akan kita hadapi dan rasakan kembali di tahun depan. Idul Fitri setiap tahun akan kembali dan datang menyapa, tapi tidak dengan kita, tidak menutup kemungkinan jiwa kita akan berpisah dari raga yang belum tentu dapat berpuasa dan mudik di tahun yang berikutnya. Wallahu ‘alam 

Note: Tulisan ini dimuat di GeoTimes, 10 Juli 2016
Read More …

March 23, 2016

Jejaring Sosial Online Pasca Homo Homini Socius


http://wearesocial.sg.
Homo Homini Socius. Kalimat berbahasa latin ini di era digital juga menjadi kalimat yang mengalami transformasi secara istilah dalam aspek ruang dan waktu. Secara populer, kita mengenalnya social media atau jejaring sosial yang telah disiapkan oleh produsennya dalam bentuk social media platform.  

Istilah ini merujuk pada suatu interaksi dalam suatu lingkungan sosial baik skala kecil maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas. Seperti diketahui jejaring sosial online adalah bentuk komunikasi virtual yang penggunaannya digandrungi masyarakat dunia melalui kekuatan teknologi informasi .

Pada Januari 2014, Simon Kemp, praktisi sosial media yang berada di Singapura, mengatakan, setiap tahun para pengguna jejaring sosial di dunia mengalami pertumbuhan yang menakjubkan. “Hal ini sejalan dengan perkembangan inovasi media digital, kehumasan (public relation) dan kecakapan marketing,” tuturnya  dalam sebuah laman resmi agen pemasaran dan kehumasan jejaring sosial online bernama http://wearesocial.sg.   

Read More …

March 2, 2016

Komunitas dan Teras Filantropi


Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), demikian Aristoteles mengatakan. Identitas ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain karena adanya interaksi rasional (homo homini socius). Sejalan dengan premis logika bahwa sebagian bagian dari keseluruhan. Individu bagian dari suatu komunitas. Realitas ini ada dalam kehidupan kita yang tak terbantahkan (niscaya).

Hal ini pula yang menandakan jika Google dengan segala bentuk piranti onlinenya menjalin hubungan mutualisme. Ada interaksi virtual saling memberi dan menerima antara Google dan penggunanya. Entah berapa banyak jumlah komunitas yang melakukan aktivasi dengan layanan mesin pencari handal ini dan menghasilkan benefit yang fantastis. 
Read More …

June 5, 2015

BliBli Menyediakan, Anda Yang Putuskan



Setiap membuka situs belanja online yang belakangan ini menjamur, pikiran saya selalu tertuju pada nama pasar di daerah Bobos, Sumber, Cirebon. Pasar Kramat, itu yang saya ingat. Dua puluh tahun yang lalu, saat bersekolah (SMP) di Desa Bobos, ada toko alat tulis langganan dengan nama Laksana di pasar itu. Perlengkapan alat tulis dan buku lengkap dengan harga miring.

Lalu apa hubungannya dengan situs belanja online? Saya coba membayangkan kembali, waktu itu ada dialek Jawa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Dialek tersebut saya dengar saat membeli buku tulis. Ketika saya memilih buku sesuai selera, saya mencoba memastikan kepada penjual ini buku yang saya pilih.

Karena penjual tidak mengetahui kalau saya pendatang dan tidak bisa berbahasa dialek Ciwaringin, penjual itu mengatakan kurang bli saat mengembalikan uang lebih hasil pembelian buku saya itu. Yang jelas, saya tidak mengerti, yang saya tangkap adalah “kurang beli”. Saya katakan kepada penjual itu, cukup dua saja saya membeli buku tulis itu. Lagi-lagi penjual itu mengatakan kurang bli? “Dua saja pak,” ungkap saya memastikan kembali. 
Read More …

May 21, 2015

Synthesavelopment, Inovasi Elastis Smart City



Persoalan mendasar yang dihadapi setiap kota adalah ledakan populasi jumlah penduduk. Belum lagi kompeleksitas persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan yang membutuhkan sentuhan tata kelola ruang kota yang nyaman. Tanpa tata kelola impian memeroleh lingkungan kota tepat sasaran tidak akan pernah ada.

Seiring dengan perubahan demografis, yang didalamnya ada bonus demografi, ibarat dua sisi mata uang, ada peluang dan tantangan. Peluangnya bagaimana memberdayakan usia produktif dalam pertumbuhan ekonomi kreatif. Sementara, tantangannya mencari solusi kompleksitas persoalan. Tentu saja, hal ini menjadi pekerjaan rumah pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkecimpung di panggung tata kelola kota dan pembangunan berkelanjutan dalam balutan smart city.

Read More …

April 16, 2015

Perempuan Dalam Lembaran Filantropi



Setelah mendengar bunyi dering ponsel, tanganku berusaha meraih ponsel yang tidak biasanya diletakkan di atas meja, khawatir anakku dapat menjangkaunya. Barangkali bunyi itu hanya pesan biasa kawan, sekedar ucapkan selamat pagi atau pesan lain dari aplikasi mobile chatting yang tak kunjung berhenti.

Sorot mataku membuka satu per satu aplikasi yang tersedia. Namun, saat masuk ke media sosial berlogo kicau burung, angka 1 muncul di bar mention. Antara membuka dan tidak,  secangkir teh hangat menggoda dengan asap tipis yang terus mengepul ke atas.

Menu berita pagi di lini masa Twitter masih seputar politik yang terus bergerak. Bosan bercampur gundah sebelum membaca detailnya. Akhirnya, aku kembali membuka bar mention yang sempat ku urungkan tadi. Rupanya, ada kawan sosial media yang baru saja kembali studi dari negeri Kangguru beberapa bulan lalu mengabarkan berita dari surat kabar nasional tentang perempuan dan filantropi.   
Read More …

April 1, 2015

Romantisisme Olga dan Filantropi



Sengat terik matahari yang panas, siang itu saat melintas di sisi Banjir Kanal Timur (BKT).  Sepanjang kanal itu, sesekali air di kanal bergelembung setelah ikan sapu-sapu melompat ke permukaan air. Deru mesin motor mengantarkan anak saya dan bundanya berkeliling mengobati rindu dan penat dengan berjalan bersama. Seperti biasa rute Klender - Duren Sawit jalur alternatif selain kawasan Perumnas.

Tak dinyana, jalan-jalan siang itu saat melewati kawasan Pondok Kelapa, tak jauh dari kober sudah mulai padat. Sebelumnya tak terpikirkan sama sekali untuk melintas. Untung saja, isteri mengingatkanku berkenaan dengan berpulangnya artis komedi Olga Syahputra. Pacu sepeda motor pun terhenti, rupanya sudah terjebak macet jalan searah di depan kober, dipadati warga yang ingin menyaksikan pemakaman Olga.
Read More …

November 3, 2014

Menjangkau Personal Branding di Poltangan

Ketika studi budaya menjadi pisau analisis dalam wacana kaum muda ada konteks tanggung jawab bahwa telaah komitmen terhadap isu-isu kekinian akan melahirkan kesadaran kritis-dialogis bersamaan dengan reartikulasi konseptual yang berlaku terhadap sesuatu yang dipersepsikan. Bagi Henry Giroux, dalam studi budayanya kaum muda (youth) baik sebagai individu-kelompok berada dalam zona yang senantiasa tidak nyaman saat demokrasi modern dan globalisasi nampilkan kenyataan sebaliknya (disposable futures).

Giroux memaknai kaum muda pada dasarnya ingin memberikan ruang lain bahwa dalam konteks pedagogis keberadaannya akan semakin diperhitungkan dengan kekuatannya. Bila ini pesan yang ingin disampaikan, tentu mempunyai titik temu dengan pedagogi antisipatorisnya Mochtar Buchori untuk memuliakan kehidupan agar lebih bermakna di masa yang akan datang.    

Sejalan dengan itu, panggung aktualisasi adalah ruang kreasi yang diperlukan untuk menjawab resah bagaimana gagasan dapat dicerap dengan perangkat pengetahuan dan pengalaman. Selain itu, bagaimana merealisasikan gagasan tersebut melalui setiap individu agar dapat terbuka pintu akselerasi yang menghembuskan kompetensi pribadi dan sosial kaum muda.
Read More …

February 24, 2014

Postmodernisme Skuter "Gembel"






Siapa yang tak kenal Vespa ? Skuter pabrikan Italia ini di Indonesia masih banyak diminati oleh kalangan muda, orangtua bahkan lintas generasi. Para penggemar fanatiknya dan klub-klub penggemar skuter klasik ini sering mengadakan kopidarat di tempat-tempat strategis. Dengan berbagai macam modifikasi komunitas tersebut berjalan iring-iringan di jalan raya. Dari modifikasi yang keren sampai yang biasa-biasa saja bahkan yang ekstrem dan gembel alias dekil sering di temui di jalan sekitar kita.

Pembaca mungkin sering melihat skuter ekstrem (gembel) dengan beberapa aksesorisnya yang jika dilihat bikin dahi berkerut, tepok jidad atau membuat tertawa dan sungkan saat melihatnya. Entah dari mana ide mereka, para penggemar skuter gembel ini memberikan aksesoris yang dapat dikatakan sangat kotor, aneh dan ribet.

Dari botol aqua bekas, infus bekas, panci bekas, tengki bekas, tas ransel dekil bekas, ban bekas, tiker spon, sampai bendera bergelantungan dan menghiasi skuter klasik ini. Tidak jarang juga ditemui gadis cantik ikut nangkring di skuter gembel itu.   


Read More …

May 17, 2013

Talenta Dakwahpreneur Hijab


Bersamaan dengan peran sosial politik perempuan di Indonesia yang terus berubah. Ada sisi lain kehidupan perempuan melalui suatu komunitas yang memperkenalkan suguhan berbeda melalui kretifitas hijab. Aktivitas sosial mereka selain berdakwah dan mengembangkan wirausaha juga memberikan informasi edukatif tentang karakter perempuan yang bertalenta kreatif.

Paling tidak, gerakan modernisasi busana komunitas perempuan muslimah itu sebagai jawaban kepada masyarakat tentang pergeseran cara pandang dalam memaknai busana serta penutup aurat. Dalam hal ini, hijab tidak hanya sebagai penutup kepala, tapi model inovatif yang mengikuti trend berbusana untuk menjembatani perempuan yang belum terbuka hatinya mengenakan jilbab.
Ibarat sebuah kapal yang membelah gelombang, busana dan hijab yang mengikuti perkembangan jaman menampilkan metafora membelah gerak air yang deras dan tinggi dalam ruang hidup keseharian kaum perempuan. Representasinya bergelombang agar bisa didekati secara teologis maupun lewat pengalaman sosial.
Read More …

June 12, 2008

Remaja dan Gaya Hidup

Oleh: Nazhori Author



Berdasarkan hasil surveinya Global Youth Tobacco Survey (GYTS) melaporkan bahwa Indonesia pada 2006 terhadap remaja usia 13-15 tahun, sebanyak 24,5 persen remaja laki-laki dan 2,3 persen remaja perempuan merupakan perokok. Bahkan jumlah perokok perempuan di Jakarta mencapai 40 persen, ujar spesialis paru di Jakarta, Prof dr Tjandra Yoga Aditama (Koran Jakarta, 31 Mei 2008).

Siapa sangka jika para pelajar sebagai generasi muda belakangan ini semakin terpuruk. Hal ini ditandai dengan hasil survey Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang cukup menakjubkan bahwa remaja kita telah menjadi smoker. Memang tidak semua remaja sebagai perokok tapi suvei tersebut dapat menjadi tolok ukur bahwa dilihat dari faktor lingkungan pergaulan remaja cukup memprihatinkan.

Padahal sebelum hari tembakau sedunia diperingati, masih ada sebagian pelajar yang menunjukkan sikap angkaranya terhadap pelajar lain di Kebayoran Baru belum lama ini. Alhasil, sungguh mengerikan ekspresi anarkistis ditunjukkan pelajar yang diliput oleh media cetak dan elektronik. Sementara angkara mahasiswa juga dipertontonkan di jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Dengan pendekatan psikologi-sosial kejadian tersebut semakin mengingatkan kecemasan Erich Fromm tentang suatu masa di mana manusia terhenti menjadi manusia dan beralih menjadi mesin yang tidak berpikir dan tidak berperasaan. Situasi ini juga digambarkan oleh aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI yang sebagian generasi muda terhadap aktivis Aliansi Kebangsaan yang memperingati hari Pancasila di Monas awal Juni kemarin. Kecemasan menuju klimaksnya karena cinta dan kekerasan seperti air dan api yang bisa memberikan efek negatif terhadap generasi muda bahwa kekerasan terhadap orang lain sebagai salah satu cara yang dihalalkan.

Gaya Hidup
Dunia remaja adalah dunia yang menyenangkan. Banyak orang bilang masa remaja jika tidak dinikmati kelak dewasa nanti akan rugi karena masa remaja tidak akan kembali lagi. Satu sisi pernyataan ini masuk akal di sisi lain menyesatkan karena hanya dilihat dari sudut pandangnya yang hedonis. Karena remaja diidentikan dengan gaya hidup yang penuh hura-hura.

Meskipun ada sebagian kenyataannya yang demikian, sesat pikir itu harus segera dilenyapkan. Bagaimana memandang remaja sebagai sosok yang dinamis dan kreatif bukan sebagai target perluasan pasar dari kultur industri yang memanjakan budaya pop. Boleh jadi meningkatnya angka perokok bagi remaja karena remaja dilihat dari target pasar sebagai sudut pandangnya.

Remaja dan gaya hidup sulit untuk dipisahkan. Mengingat gaya hidup adalah trend yang up to date dan diikuti agar tidak ketinggalan jaman. Mulai dari sikap dan bahasa tubuh aktivitas remaja modern sekarang telah menyatu dalam budaya pop. Budaya pop sebagaimana digambarkan Baudrillard dalam Yasraf A. Piliang (1998) adalah arus kapitalisme lanjut yang dikejar prinsip kemajuan, kebaruan, percepatan dan perbedaan, segala sesuatu didaulat sebagai komoditi.
Inilah yang diinginkan remaja sebagai generasi muda. Adalah paradoks jika dalam perspektif ekonomi industri rokok menjadikan remaja sebagai target pasar sedangkan ahli kesehatan menginginkan remaja sebagai generasi muda yang sehat, cerdas dan kreatif. Dalam kenyataannya informasi dan hiburan yang dikemas dalam kotak televisi, iklan dan ragam tontonan lainnya tidak sedikit yang menyajikan proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas itu sendiri yang menawarkan kenikmatan pada remaja.

Adorno dalam The Culture Industry (2001) mengatakan skema budaya massa atau budaya pop memiliki karakter komersil yang ditandai oleh perbedaan antara budaya dan praktik hidup yang sebenarnya hilang. Keindahan atau bahkan keburukan sulit untuk dikenali karena bercampur baurnya kehidupan dan budaya yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Dalam masyarakat industri yang ditopang oleh kemajuan informasi dan teknologi ini nurani dan akal budi perlahan-lahan diendapkan dalam lubang yang tidak ada harganya. Masyarakat berubah menjadi teknokratis yang menuruti petunjuk-petunjuk digital. Masyarakat khususnya remaja hanya disuguhkan oleh kenikmatan sesaat yang membawanya kepada kesadaran semu.
Gaya hidup bagi remaja adalah citra. Citra pemberani, penuh ekspresi dan tidak ketinggalan jaman. Modis dan trendi begitulah kirta-kira. Citra inilah yang dijual oleh kultur industri anak kandung dari kapitalisme. Teknik-teknik manipulasi dimainkan untuk mengangkat citra. Begitu juga dengan remaja baginya citra adalah produk modernisasi yang dikemas dalam pesannya yang paradoks.

Dampak dari gaya hidup belakangan menjangkiti remaja dengan membuncahnya kecumburuan sosial. Minder, rasa ingin tahu yang kuat, dan gejolak emosi menunjukkan wujudnya dalam bentuk kesenjangan, permisif dan munculnya kelompok-kelompok remaja dengan berbagai macam komunitasnya. Lebih-lebih ketika kemiskinan dan karut marutnya persoalan hidup makin menggencet. Tak mustahil jika emosi sosial remaja terus membara.

Tugas Pendidikan

Berat rasanya jika menyerahkan persoalan remaja kepada pendidikan. Pendidikan ibarat bengkel patologi sosial yang menerima kerumitan hidup remaja sehari-hari. Praktisi pendidikan dan agama harus tidak harus menerima beban ini dengan apa yang seharusnya dilakukan untuk membentengi remaja dari warna-warni pergaulan sosial.

Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dibutuhkan cara pandang melalui psikologi pendidikan untuk mendiagnosis patologi remaja. Mengingat remaja adalah agen perubahan sosial di masa depan yang harus diselamatkan. Pendidikan sebagai sarana gerakan sosial yang baru sejatinya dengan kehadirannya mampu melakukan tugasnya guna menyapa para remaja dengan kemasan yang menarik.

Tentu saja dengan menggunakan pendekatannya yang menyenangkan, dialogis dan memberikan rasa nyaman bagi remaja. Pada mulanya krisis identitas di kalangan remaja lebih diakibatkan pada tersumbatnya ruang untuk belajar dan berekspresi. Oleh karena itu, kegagalan belajar ini harus segera dicarikan solusinya dengan memainkan pendidikan sebagai model agen perubahan sosial untuk remaja.

Penulis adalah Alumnus STAIN Purwokerto


Read More …